1/15/2016

Kehilangan yang Dicintai

Kehilangan yang dicintai, entah ditinggal mati, ditinggal selingkuh, ditinggal karena keadaan meski masih sama-sama sayang, hasilnya sama: sakit hati. Lalu bagaimana mengatasi dan mengelola perasaan kehilangan itu sembari terus melanjutkan hidup?


Kehilangan yang Dicintai

Beberapa waktu lalu, sekitar jam 6:45 sore, anjing saya meninggal karena serangan jantung. Anjing saya, si Atun, lahir sewaktu saya masih kawin.

Ketika saya pisah rumah, saya masih sering ke rumah suami untuk memandikan anjing (karena ada 4 ekor). Anjing tidak boleh masuk ke apartemen, sehingga saya tidak bisa memelihara anjing di sana. Tetapi karena Atun diam dan kalem, Sabtu suka saya culik dan saya pulangkan Hari Minggu.

Ketika saya menyewa rumah, Atun dan bapaknya, Samba, ikut saya. Mereka menikmati sekali tinggal berempat dengan saya dan Al, asisten saya. Atun meninggal mendadak sekali. Saya nangis senangis-nangisnya karena si Atun ini selalu setia sama saya. Dia teman saya kalau lagi senang dan sedih.

Rasanya semalaman saya tidak tidur waktu itu, tetapi saya percaya kalau Atun kembali ke pencipta-Nya, yang notabene pasti tempatnya lebih baik dari tempat saya. Sekarang saya adopsi seekor anjing betina lagi, namanya Ruby.

Ruby mirip Atun, tapi lebih pecicilan. Atun tidak tergantikan, saya masih sering ke kuburan Atun, tetapi saya sudah menerima kalau dia sudah pergi untuk selamanya.

Satu setengah bulan sebelumya, saya baru putus dengan pacar saya. Saya berhubungan dengan dia selama satu tahun. Dari semua laki-laki yang dekat dengan saya, yang satu ini luar biasa tahan bantingnya. Dengan kata lain, sabar.

Selain itu kita sangat compatible. Kita bisa bicara berjam-jam mengenai apa saja. Pendek kata, dia figur yang sempurna. Sayangnya, hubungan kita harus putus. Bukan karena kita tidak saling mencintai lagi tetapi karena dia diletakkan pada posisi yang sangat sulit.

Selama ini kita selalu perlahan-lahan membina hubungan ini dan sabar dalam menghadapi badai demi badai yang ada. Kita berhasil melaluinya bersama. Tetapi akhirnya dia dihadapkan pada satu pilihan yang sulit sehingga mengharuskan kami untuk berpisah.

Sampai saat ini saya kelimpungan untuk kembali berdiri karena dia sangat berarti untuk saya, dan saya yakin dia juga masih mencintai saya.

Dalam hidup ini, kita banyak ditinggalkan oleh yang kita cintai. Entah ditinggal meninggal, ditinggal karena yang satu sudah tidak cinta lagi, atau dipaksa oleh keadaan.

Ditinggal mati, ya tidak ada pilihan lagi selain menjalaninya dengan sabar. Ditinggal karena salah satu berselingkuh, atau karena salah satu sudah tidak cinta lagi, ya apa yang mau dibuat, namanya juga perasaan, tidak bisa dipaksa.

Namun dipisahkan karena keadaan yang, walaupun kami masih saling sayang, adalah hal yang saya rasa sangat berat, karena kita ditinggalkan dengan harapan-harapan yang harus kita bunuh.

Ditinggalkan dan kehilangan yang kita cintai, tentunya membuat dunia kita berasa runtuh. Sampai hampir 4 bulan, saya masih sedih. Karena saya tidak tahu harus marah kepada siapa dan menyalahkan siapa, selain keadaan yang tidak bisa diubah.

Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Entah ditinggal mati, ditinggal selingkuh, ditinggal karena keadaan walaupun masih sama-sama sayang, semua hasilnya sama: sakit hati. Kata pakar psikologi, kehilangan adalah mourning, masa berduka dan bersedih.

Karena kita kehilangan. Biasanya yang terjadi adalah sedih, frustrasi, marah, denial dan akhirnya, menerima. Lamanya proses ini tergantung kita dan lingkungan. Bisa lama, bisa sebentar. Kita bisa melarikan diri dengan libur, sibuk, tetapi hanya akan mengalihkan permasalahan, tidak menyelesaikan kemelut di dalam hati kita.

Yang ada, perasaan itu terpendam dan termanifestasi dalam bentuk lain di masa yang akan datang. Entah keluarnya pada saat kita ketemu orang baru, atau dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak tahu.

Tetapi jalan yang paling baik tentunya berdamai dengan diri sendiri untuk bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada. Bahwa kita sudah sendiri. Bahwa walaupun masih ada sebersit harapan, sebaiknya kita melihat apa yang ada di hadapan kita: kenyataannya, kita sendiri. So, deal with it.

Berdamai dengan diri sendiri dan menerima kenyataan bahwa kita sendiri lagi bukan perkara gampang. Ada yang menghabiskan waktu dengan memperbanyak ibadah, meditasi, beraktifitas supaya lupa dengan keadaan, dan ada juga yang diam seribu bahasa memendam rasa depressi, mengharapkan semua berlalu dan membaik seiring dengan waktu.

Tetapi proses menerima itu sangat dekat dengan sabar. Ya, Sabar adalah kunci untuk menghadapi semuanya.

Saya pernah pula bicara dengan teman-teman saya yang single parent dan menghadapi patah hati. Namun saya katakan, mereka beruntung karena mempunyai anak. Paling tidak, mereka mempunyai cinta yang lain, harapan yang lain.

Pulang kerja ada anak. Sementara saya, pulang ke rumah, sendiri, tak ada teman curhat selain teman-teman baik. Yang mana, saya sendiri kadang tidak enak untuk curhat karena saya sangat depressing sehingga menarik diri dari pergaulan.

Apapun yang dilakukan, entah sholat sampai 1000 rakaat, olah raga, pulang cepat dari kantor hanya untuk mendem di kamar, ya lakukanlah. Karena itu yang tubuh kita inginkan. Itu semua proses untuk akhirnya bisa menerima dan berdamai dengan diri sendiri, supaya kita bisa maju, kembali bergerak ke depan.

Kehilangan karena cerai, karena kematian, atau karena putus, semua perlu masa berduka. Yang saya tahu, itu memakan waktu yang lama dan yang saya tahu, memiliki teman-teman dan saudara yang mau membantu kita berpikir jernih sangat membantu. Dan juga, menyadari bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi kita.

Biasanya dengan menyerahkan kepada Tuhan sepenuhnya, beban akan berasa lebih ringan. Memang sih gampang bilangnya, tapi sulit ya. Yang penting, coba deh, berdamai dengan diri sendiri, alias menerima bahwa kita sekarang sendiri dan kesendirian itu tidak apa-apa.

Secepat mungkin hilangkan rasa sakit hati dengan memaklumi, ya, emang orangnya begitu, ya, emang keadaannya begitu, jadi kita bisa nrimo dan lupa dengan cepat.

Coba deh, napas panjang tiap bangun pagi, lihat sekeliling seperti tanaman dan matahari. Lalu langkahkan kaki ke depan. Satu demi satu. Pelan-pelan dijalankan saja. Nanti, insya’Allah ada jalannya. Menjalankan dengan sabar dan ikhlaskan. Biar kadang berasa kayak zombie, jalanin aja.

Saya tipe yang lebih suka sendiri dan sibuk dengan pikiran saya sendiri. Dan saya belajar sabar. Sabar itu memaklumi keadaan kita dan akhirnya berdamai dengan diri sendiri.

Mungkin teman-teman juga perlu ketenangan untuk dapat berduka sedalam-dalamnya atas kepergian yang kita cintai dan memulai hidup baru sendiri. Kita sama-sama sabar ya. Yakin deh, pasti di ujung terowongan yang gelap ada titik terang.

Silakan bagi-bagi pengalaman, mungkin bisa saling bantu.


(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.